Manusia
hidup melewati hari demi hari, kadang hari yang kita lewati hanya terbuang
dengan bermalas-malasan, kadang juga kita lewati dengan bersenang-senang, atau
sibuk sendiri dengan aktivitas sehari-hari. Dan tentu saja kita tak pernah
ambil pusing memikirkan hari yang telah kita lewati.
Tapi
ada hari, dimana itu terasa hari yang sangat berharga dan rasanya seperti hidup
kita baru saja dimulai. Momen itu saya rasakan hari ini, perasaan itu membuat
aliran darah saya mengalir deras seperti banjir bandang yang terjadi
akhir-akhir ini di beberapa daerah Indonesia. Sampai-sampai, saya kerap susah
tidur karena memikirkan momen yang akan saya lewati yang bagi saya penting
ini!!.. Haha
Cerita
ini dimulai dari rasa penasaran yang tak pernah berhenti menggelayuti pikiran
saya. Berawal dari membaca sebuah novel karya Pramoedya A.T berjudul Bumi Manusia
dan tentu saja berlanjut hingga sekuel terakhirnya dalam Tetralogi. Setelah
jauh menyelam ke dalam cerita dan tanpa terasa cerita itu usai, tetapi penyelaman
itu ternyata tak berujung hingga saya mencari foto-foto tokoh dalam novel itu
yang saya anggap mereka benar-benar hidup.
Tak
puas dengan foto berlanjut ke video tentang tahun-tahun dimana novel itu
berlatar. Karena saya terhanyut dalam arus ini, jadi saya ingin merasakan
setiap aliran, suasana, aroma, suara, warna dan segalanya tentang dunia dalam
cerita, yang terasa dekat dan hangat.
Terus
dan terus dalam pencarian, akhirnya berlanjut pada musik. Musik? Apa yang
didengar mereka waktu itu? Apakah pribumi, indo dan Belanda mendengarkan musik
yang sama (Seperti jaman globalisasi ini)? Siapa yang bisa mengakses musik
jaman itu? Siapa musisi pribumi atau Belanda yang "ngehit" pada waktu
itu?
Dan
pencarian dengan mesin bak Dewa yang maha tahu pun berlanjut dengan kata kunci
yang lugu "Musik Populer Jaman Hindia Belanda". Hasilnya tak banyak
yang sesuai dengan keinginan. Saya buka satu persatu dan bertemulah saya dengan
website Radio Nederland Weredomroep Indonesia yang memuat artikel berjudul "Pameran Musik Hasil Menjajah Indonesia" ditulis oleh Joss Wibisono yang menceritakan tentang seorang
pianist belanda yang membuat buku tentang musik masa kolonial belanda. Pianist
itu bernama Henk Mak Van Dijk, banyak hal yang dia ceritakan tentang bukunya
“Wajang Foxtrot” mulai dari Mars prajurit Belanda, Musik-musik tentang
kekaguman Belanda terhadap Indonesia hingga musik tentang kerinduan mereka
terhadap tanah air Belanda, karena paling tidak selama 6 tahun mereka harus
tinggal di Indonesia yang meninggalkan keluarga dan sanak saudara
Tidak
hanya menulis buku, Henk Mak Van Dijk juga menggubah musik karya-karya Musisi
Belanda kelahiran Indonesia seperti Constant Van De Wall, Paul Seelig. Dan melahirkan dua
Album yang menawan, dan beberapa sudah saya dengar karyanya.
Itu
menarik sekali bagi saya, tapi bagaimana saya mendapatkan album itu? Apakah ada
yang jual di Jakarta atau kota besar lainnya? Saya mencari-cari dalam rimba
raya Internet. Ternyata tidak ada yang menjual album itu sama sekali. Saya
akhirnya beralih ke web-web Belanda dan saya menemukannya. Bukan menemukan
alamat penjualnya tapi saya menemukan alamat email Henk Mak Van Dijk. Dan
dengan perasaan nothing to lose dan
sedikit kecil hati saya kirim email ke alamat dalam web. Suatu hari saya buka
email saya dan ternyata seperti yang saya duga no answer.
2
hari kemuadian.
Dengan
perasaan tak berharap saya membuka halaman email lagi. Finally, email saya ternyata dibalas dengan ramah yang berakhir
dengan mengajak saya bertemu pada tanggal 21 Juli nanti di Yogja. Karena memang
Van Dijk ada jadwal ke Yogya tanggal itu. Sulit dikatakan kalau ini hanya
kebetulan. Dan senyum bahagia saya biarkan mengembang untuk beberapa hari
kedepan. Berlanjut pada Musik sebagai mesin waktu 2