Mengutip dari penyair Jerman,
Goethe pernah berkata bahwa “orang yang tidak dapat belajar dari masa tiga ribu
tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya” yang katanya, itulah jalan satu-satunya menjadi manusia. Sekarang kita tidak melompat sampai ke ribuan tahun
yang lalu untuk menjadi manusia
akan tetapi kita melompat ke belakang keabad 18-19 dimana Nusantara masih
diduduki oleh Belanda.
Seperti yang saya ungkapkan dalam artikel sebelumnya, saya akan bercerita tentang musik
jaman Hindia Belanda. Komponis-komponis besar yang kita
tahu, seperti seperti Debussy, Ravel, Xenakis, John Cage, Steve Reich sampai
Bill Kanengiser yang memiliki kekaguman terhadap Gamelan yang dapat kita dengar
dari beberapa karya-karya mereka.
Ternyata terdapat pula komponis-komponis
didalam sejarah Indonesia jaman penjajahan Belanda yang memadukan musik klasik
barat dengan gamelan Jawa dengan
cukup otentik.
Adalah seorang pianis dan
antropolog bernama Henk Mak Van Dijk yang memaparkan tentang sejarah musik Hindia-Belanda
ini di dalam bukunya “Wajang Foxtrot” yang terbit pada tahun 2011 di Belanda.
Henk Mak Van Dijk yang kala itu saya temui di Yogyakarta bercerita tentang Wajang Foxtrot yang
berisi tak hanya komponis-komponis klasik jaman Hindia Belanda, dalam buku ini
juga diungkap tentang kehidupan musik jaman Hindia-Belanda, orkestra
simfoni pertama, kroncong, musik
kemiliteran saat menjajah Aceh dan
Lombok, Opera Jawa Attima, Hiburan rakyat Belanda hingga Kabaret.
Kita kerap membaca tentang
sejarah jaman penjajahan belanda, tapi jarang sekali kita tau bagaimana
kehidupan musik dijaman itu.
Seperti misalnya
Constant Van De Wall komponis Indo kelahiran Surabaya 142 tahun silam ini yang
besar di Semarang, banyak menghasilkan karya-karya yang selalu bernafaskan
gamelan jawa, bisa anda dengar dan nilai sendiri salah satu karyanya yang
dimainkan Live oleh Henk Mak Van Dijk
di youtube (search : Constant van de
Wall Rhapsodie javanaise ).
Mendengarkan karya musik ini terasa sekali
percampuran budaya antara klasik barat dan gamelan Jawa dengan halus dan tanpa
terasa memaksa dan juga tidak menghilangkan unsur keduanya. Hal ini dimungkinkan
karena pengetahuannya akan gamelan yang mendalam.
Tak hanya berkarya dalam piano tunggal Constant Van De
Wall juga menciptakan Opera yang
berjudul Attima yang bercerita tentang kehidupan penari Jawa. yang pada tanggal
23-28 Mei 2008 yang lalu dipentaskan kembali di Belanda.
Lalu terdapat komponis yang lebih
purist dalam menyikapi musik timur
jauh ini, berbeda dengan Constant Van de Wall yang yang lebih mementingkan
penciptaan, yaitu Paul Seelig (1876-1945) Selama delapan tahun di Solo, dia
menghabiskan waktunya dengan mengadakan penelitian mendalam tentang musik
Timur.
Sesudah ayahnya meninggal, dia menetap di Bandung, untuk mengambil alih
pimpinan toko musik dan alat-alat musik, dan kantor penerbitan (Matatani) yang
telah didirikan oleh ayahnya. Tetapi dia masih senang bepergian. Akhirnya dia
berangkat ke Thailand.
Di zaman itu dia mencatat banyak
lagu-lagu Thailand yang didengarnya sendiri pada saat dinyanyikan oleh rakyat,
dan dia telah menggubah pula lagu kebangsaan Thailand. Sesudah itu dia
menerbitkan sekumpulan besar lagu-lagu yang telah dicatatnya pada dinyanyikan
para penyanyi pribumi dari Jawa Tengah. Gubahan-gubahan Seelig menunjukkan
gabungan yang sangat menarik antara unsur-unsur Timur dan Barat; sebuah
struktur selalu menunjukkan keahlian pembuatnya.
Beberapa karya Paul Seelig dinyanyikan kembali
oleh Bernadeta Astari soprano Indonesia pertama yang tampil di
Concertgebouw yaitu nomor-nomor tembang sunda seperti Sinom, Kinanti, dan
dandang gula miring.
Akan
tetapi memang kedua komponis diatas tidak terlalu dikenal di Belanda dan apalagi
di Indonesia maupun dunia. Karena komponis hindia ini berdarah indo (campuran
Belanda Indonesia) yang berkulit agak coklat sehingga tidak terlalu digubris
oleh orang-orang Belanda yang dulu cenderung rasis, menurut penjelasan Henk Mak
van Dijk sendiri waktu saya wawancarai.
Lain daripada itu terdapat pula musik-musik
entertainment salah satu yang menarik
perhatian saya yaitu karya yang dinyanyikan oleh Willy Derby yang berjudul
Hallo! Bandoeng!. Lagu ini diciptakan pada saat hubungan telepon Belanda dengan
Hindia-Belanda (Indonesia) mulai beroperasi. Penyanyi yang kerap menyanyikan lagu-lagu gubahan Jacques van Tol yang berisikan anti terhadap Jerman ini melakukan sejumlah tour di Hindia-Belanda pada tahun 1931 dan segera memperoleh
kepopuleran di daerah kolonial ini dengan membawakan nomor-nomor yang popular
di Hindia-Belanda seperti letter from India, slamat tidoer dan tentu saja
Hallo!Bandoeng!
Mencontek kata-kata Joss Wibisono
dalam tulisannya “gamelan dan musik klassik” Sejarah komponis Indisch, sedikit banyak juga merupakan
sejarah musik Indonesia.
http://www.dutchrecordcompany.nl/index.php?164
paulusdwihananto.edublogs.org/files/.../
http://makvandijk.wordpress.com/2013/08/25/wajang-foxtrot-indie-in-klank-en-beeld-1890-1945/
MUSIK (DI) INDONESIA
MENUNGGU BERBUAHNYA BERBAGAI POTENSI
-Artikel asli dimuat di majalah TAPIAN edisi Juli 2008.-
Oleh Serrano Sianturi
http://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/09/gamelan-dan-musik-klasik-oleh-joss-wibisono/
http://iml.nederlandsmuziekinstituut.nl/index.php?lang=23&dept=83&article=126
http://www.historici.nl/Onderzoek/Projecten/BWN/lemmata/bwn5/diepen_w
Buku Wajang Foxtrot